Rabu, 14 Juli 2010

Belajar dari perang Malvinas

Malvinas menghangat lagi setelah hampir 28 tahun adem ayem. Adalah Argentina yang pada februari 2010 ini memerintahkan semua kapal yang menuju Kepulauan Malvinas harus melalui perairannya dan meminta izin dari Buenos Aires (Kompas, 25 -2-2010).

Kepulauan Malvinas amat sangat dekat dengan Argentina, namun ironisnya justru dimiliki oleh Kerajaan Inggris. Ibarat pepatah, “jauh di mata dekat di hati” Malvinas yang berjarak 12600 km (sekitar 6700 nautical miles) dari Inggris telah menjadi daerah kekuasaan permanen kerajaan Inggris ketimbang menjadi milik Argentina yang hanya berjarak 600 km (320 nautical miles) dari garis pantai Malvinas (Sebagai gambaran, jarak 600 km setara dengan jarak Jakarta - Madiun, sedangkan jarak 12600 km kurang lebih setara dengan ¼ keliling bumi).

Setelah perang, Falkland Islands yang mempunyai luas daratan sekitar 12173 km persegi (hampir 2 kali luas Jakarta) menjadi pulau yang maju dan sukses dalam bidang perikanan dan turisme dimana rakyatnya lebih memilih menjadi warga negara Inggris.

Isu ketegangan pulau Malvinas (Falkland islands) mulai memanas lagi karena adanya spekulasi cadangan minyak yang besar di kepulauan Falkland. Apapun alasannya, Inggris pasti punya maksud tersembunyi (hidden agenda) untuk tidak melepaskan Falkland Islands, meskipun barangkali bisa jadi hanya karena masalah arogansi atau ketersinggungan dari sebuah negara imperium besar.

Pelajaran untuk Indonesia sebagai negara maritim adalah perlu segera memperdulikan garis pantainya yang sangat panjang (+/- 95.181 km), pulau-pulau terluar serta batas laut teritorial. Potensi konflik dengan negara yang berbatasan dengan Indonesia perlu segera dianalisis dan dicari solusi yang tidak mengurbankan kekayaan darat, laut dan udara.

Perlu segera disosialikasikan bentuk konkrit garis batas zone ekonomi eksklusif dan zona kemaritiman untuk melindungi kekayaan hayati dan non hayati darat, laut dan udara.

Beberapa isu penting dan strategis di masa depan yang harus segera ditangani oleh Indonesia untuk mengantisipasi dampak lebih buruk dari kemunduran kemaritiman dan kelautan di Indonesia, diantaranya adalah sebagai berikut.

  1. perundingan garis batas antar negara
  2. energi terbarukan seperti :
    1. konsep pemanenan energi angin: onshore dan offshore wind farm
    2. konsep pemanenan energi gelombang: onshore, nearshore dan offshore
    3. energi pasang surut
    4. energi arus laut
    5. energi hydrothermal
  3. konstruksi bangunan raksasa terapung (large floating structure) untuk pengembahan lahan daratan sebagai pengganti reklamasi
  4. Berkembangnya konsep pengelolaan pesisir dan kelautan terpadu atau Integrated Coastal and Ocean Management (ICOM).
  5. Berkembangnya konsep ekosistem kelautan raksasa atau Large Marine Ecosystem (LME).
  6. Perkembangan bioteknologi kelautan (marine biotechnologi).
  7. MPA (Marine Potected Areas) (dalam Salam A. A, 2008).
  8. Ekoturisme
  9. Instalasi dan anjungan lepas pantai yang tidak terpakai lagi.
  10. Persoalan jaringan kabel dan pipa-pipa bawah laut .
  11. Masalah peninggalan-peninggalan budaya dan sejarah di dasar laut.
  12. Kegiatan-kegiatan illegal di laut, seperti penyelundupan barang dan manusia, imigrasi gelap, kejahatan trans-nasional, bajak laut, terorisme di laut, IUU Fishing dll.
  13. Marine Environmental modification seperti, coastal mining, dll.
  14. Munculnya kekuatan-kekuatan baru di bidang kelautan yang saling bersaing mencari resources dan pengamanan transportasi laut.

Perlu diingat bahwa Indonesia mempunyai batas maritim yang berpotensi sebagai ancaman dengan sepuluh negara tetangga, yaitu India, Thailand, Singapura, Malaysia, Vietnam, Papua Nugini, Australia, Filipina, Palau dan Timor Leste (Arimjaya, dkk, 2008). Indonesia, sebagai negara pantai (coastal state) apalagi sebagai negara kepulauan (archipelagic state) memerlukan keseriusan, ketegasan dan strategi dalam pengelolaan pesisir dan kelautan demi mempertahankan kedaulatan NKRI dalam konteks kemaritiman untuk mencegah benturan atau konflik kelautan dan kemaritiman dengan negara lain.

Yang patut dicatat dari peristiwa perang Malvinas yaitu, Inggris juga menggunakan cara-cara kemaritiman sebagai strategi pertempuran, diantaranya adalah penerapan Zona Eksklusif Maritim sejauh 200 mil untuk gugus kepulauan Malvinas (Falkland Islands).

Akhirnya, patut disimak kesaksian seorang tentara Argentina terhadap kekalahan negaranya (dikutip dari Wikipedia): “Bila saya memiliki perwira- perwira sungguhan, yang laki-laki sungguhan, mungkin saya akan tetap bertahan. Tak mungkin! Saya orang Argentina, dan kami diciptakan bukan untuk membunuh orang lain. Kami suka makan, nonton film, minum-minum, dansa. Kami tidak seperti orang-orang Inggris. Mereka tentara-tentara professional – Perang Adalah Bisnis Mereka.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar